Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Menurut Hukum Islam
Main Article Content
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran (salah satunya adalah transplantasi), telah membawa pengaruh yang sangat positif dalam kehidupan manusia, Teknik transplantasi organ dirintis oleh Carrel, yang melakukan transplantasi ginjal anjing pada tahun 1896. Kejadian ini menjadi titik awal perkembangan bukan hanya dibidang transplantasi, tetapi juga bidang bedah-bedah lainnya. Menghadapi masalah tersebut, para pakar Islam harus bekerja ekstra untuk menjawab berbagai berbagai hal yang terkait dengan transplantasi (pencangkokan organ tubuh). Hukum mendermakan atau mendonorkan organ tubuhnya ketika masih hidup, ada yang mengatakan bahwa itu diperbolehkan apabila itu miliknya. Tetapi, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Syekh As-Sa’di, tentang transplantasi organ tubuh manusia, mengatakan bahwa, segala masalah yang terjadi dalam setiap waktu, maka jenis dan bentuknya harus dilihat terlebih dahulu. Jika hakikat dan sifatnya telah diketahui, serta manusia bisa mengetahui jenis, alasan, dan hasilnya dengan sempurna, maka masalah tersebut dapat dirujuk ke dalam teks-teks syari’at. Karena, syari’at selalu memberikan solusi bagi seluruh masalah, baik masalah sosial, individu, global, dan partikular. Syari’at memberikan solusi yang bisa diterima oleh akal dan fitrah. Orang harus melihat hal tersebut dari sisi faktor, realita, dan syari’at. Dalam permasalahan ini kita harus bersikap netral, hingga tampak bagi kita dengan sempurna untuk memastikan salah satu di antara dua pendapat, kita bisa bersikap secara tepat terhadap orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya tentang masalah ini. Di antaranya ada yang berpendapat tidak boleh, dan ada juga yang membolehkan. Karena, pada dasar manusia tidak memiliki hak terhadap badannya untuk merusak, memotong, atau menduplikatnya untuk orang lain. Mendonorkan organ tubuh itu harus sesuai dengan syari’at, dengan syarat bahwa pendonoran itu dapat menyelamatkan yang didonor (resipien) dari kematian dan tidak menyebabkan pendonornya mati atau menderita sakit parah hingga mati
Al-Qaradhawi. Yusuf, 1988, Hady al-Islam Fatawi Mu’ashirah, juz. 2, Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’rifah
__________________, 1996, Fatwa-Fatwa Kontemporer,As’ad Yasin (terj), jilid. 2, Cet. 2, Jakarta: Gema Insani Press
__________________, 2007, Fiqh Maqashid Syar’iah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Arif Munandar Riswanto (terj), Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Al-Suyuti, Tanpa tahun, Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu’i, Beirut: Dar al-Fikr
H. John (ed.), 2004, Kamus Ringkas Kedokteran Stedman Untuk Profesi Kesehatan,alih bahasa, Huriawati Hartono, dkk. Ed. 4, Jakarta: EGC
Hasan. M. Ali, 2000, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam,Ed. 1, Cet. 4, Jakarta: Rajawali Pers
Mubarok. Jaih, 2002, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi,Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Rajawali Pers
Nata. Abuddin (ed.), 2006, Masail al-Fiqhiyah, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta: Kencana
Sjamsuhidajat. R., dan Wim de Jong(editor), 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah,Ed. 2, Jakarta: EGC
Yasin. Muhammad Nu’aim, 2003, Fikih Kedokteran, Munirul Abidin (terj), Cet. 2, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Washil. Nashir Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009, Qawa’id Fiqhiyyah,Wahyu Setiawan (terj), Cet. 1, Jakarta: Amzah